Personal Blog by Rahma

Wisata Situ Cangkuang - Garut

Akhirnya bisa posting tulisan bertema jalan-jalan juga. Biasanya aku cuma hangout di cafe atau tempat makan seminggu sekali, tapi lama-lama bosen juga ya. Makan dan makan. Gak unik juga dijadikan tempat selfie. So, aku dan temanku berencana untuk mengelilingi tempat-tempat wisata di Garut satu per satu dan memperkenalkanya pada dunia.

Candi Cangkuang Garut


Tempat wisata baru di Garut memang semakin banyak, terlihat lebih asri dan modern, tapi kalau kalian ingin lebih "meng-Garut", kalian wajib berkunjung ke tempat-tempat wisata "asli" atau tempat wisata khas Kota Garut. Tempat-tempat yang keberadaanya sudah beratus-ratus atau bahkan beribu-ribu tahun, serta memiliki unsur sejarah. Salah satunya adalah Situ Cangkuang.

Situ (danau) Cangkuang ini tidak terlalu WOW, hanya ada candi dan kampung super kecil di tengah danau. Namun, itu adalah salah satu tempat wisata khas Garut dan ada unsur sejarahnya. Bukan sekedar tempat untuk berselfie ria melulu.


Situ dan Candi Cangkuang Garut

Lokasi
Candi Cangkuang terletak di desa Cangkuang, kecamatan Leles, kabupaten Garut. Tempat ini dekat dengan perbatasan Garut-Bandung/Nagreg. Sehingga, Situ Cangkuang adalah tempat yang bagus untuk memulai tour wisata di Kota Garut bagi orang-orang yang datang dari arah Bandung/Jakarta.

Letaknya tidak dipinggir jalan. Kita harus masuk ke jalan desa Cangkuang, bersebelahan dengan Alun-alun Leles. Dari arah Bandung tinggal belok kiri, gak perlu susah-susah nyebrang. Jaraknya dari jalan raya memang agak jauh. Jalanya kecil dan banyak lubang. Dengan kecepatan rata-rata 40 Km/jam, kami membutuhkan waktu 20 menit dari jalan raya ke Situ Cangkuangnya.

Selain jalan yang kurang memuaskan, aku juga menyayangkan rambu-rambu jalan yang minim atau kurang memadai. Selama perjalanan beberapa kali temanku, bertanya "Ma, ini belok kiri apa kanan?". Dengan tegas tanpa ragu aku jawab, "belok kiri, Deb". Padahal, sebenarnya aku juga gak tahu. Cuma jawab berdasarkan insting aja. Aku pilih jalan yang kira-kira kelihatan pantas untuk dijadikan jalan utama desa. Dengan bermodalkan arahan insting, akhirnya aku sama sampai di Candi Cangkuang.

Berdasarkan pengalaman di jalan tadi juga, aku sarankan kalian bawa kendaraan pribadi atau sewaan. Kayaknya gak ada kendaraan umum yang lewat ke Candi Cangkuang. Waktu di jalan, aku gak lihat kendaraan kaya AngDes atau kendaraan pengangkut orang banyak lainya. Walaupun ada kendaraan umum ataupun delman pasti ongkosnya bakalan mahal karena jalanya emang lumayan jauh.

Terakhir kali berkunjung ke tempat ini ketika aku kelas 1 SMA. Ternyata tempat parkirnya masih sama. Lumayan luas, tapi untuk parkir bus kurang besar. Tiket parkirnya berapa ya? aku lupa lagi. Untuk motor sekitar Rp. 2000,- atau Rp. 3000,-. Mobil biasanya di sekitar Rp. 5000an. Di parkiran itu juga masih ada restauran, warung dan mesjid untuk tempat istirahat. Mesjidnya bersih dan nyaman.


Candi Cangkuang Garut

Pelayanan
Di Situ Cangkuang pengunjung disambut petugas pariwisata dan alunan musik sunda saat memasuki gerbang tiket. Berdandan baju pangsi khas Sunda, dengan ramah mereka menyapa pengunjung dalam bahasa Sunda. Loket masuk Situ Cangkuang Rp. 5000,- untuk dewasa dan Rp. 3000,-. Tidak dituliskan perbedaan tarif pada weekdays dan weekends.

Untuk sampai ke pulau di tengah Situ Cangkuang, Kampung Pulo, kita harus naik rakit. Tiket rakitnya pun sama dengan tiket masuk dan biaya itu sudah termasuk ongkos perjalanan pulang-pergi. Rakitnya bisa dipakai per rombongan, jadi kalian gak perlu campur sama pengunjung lain. Satu rakitnya bisa muat sampai 20 orang.

Ketika turun dari rakit, Mang Rakitnya bilang, saat pulang nanti kami harus naik ke rakit ini lagi (rakit no 3) dengan rombongan yang sama, tidak boleh rakit berbeda rakit ataupun berbeda rombongan. Nah peraturan ini yang aku gak suka. Saat perjalanan pulang, aku memang naik ke rakit no 3 lagi. Masalahnya tidak semua orang-orang tadi balik lagi ke rakit ini pada waktu bersamaan. Agar berangkat lebih cepat, akhirnya tarif dinaikan sedikit dari RP. 5.000,-  menjadi Rp. 7.500,-.

Objek Wisata
Objek Wisata di Situ Cangkuang ini bukan hanya danaunya tapi juga sebuah kampung adat yang disebut Kampung Pulo dan satu-satunya candi di tatar Pasundan, yakni Candi Cangkuang. Dua objek itu tidak berkaitan namun ada di satu tempat yakni di sebuah pulau kecil di tengah Situ Cangkuang. Candi Cangkuang yang menunjukan keberadaan kepercayaan Hindu telah ada sebelum berdirinya Kampung Pulo yang menunjukan keberadaan kepercaayan agama Islam.

Wisata Garut

Candi Cangkuang
Candi Cangkuang ini bikin aku penasaran. Mungkin sebagian ilmuwan juga menilai candi ini agak misterius. Candi Cangkuang adalah candi hindu yang pertama kali ditemukan tahun 1966 di Tatar Sunda dan satu-satunya candi hindu yang ada di Tatar Sunda. Sebelumnya keberadaan candi ini sudah diketahui oleh orang Belanda pada tahun 1893 yang tertulis dalam sebuah laporan. Namun baru diselidiki lebih lanjut pada tahun 1966 itu. Candinya sendiri diperkirakan dibuat di abad ke-8. Udah lama banget ya.

Ukuran candinya gak sebesar Borobodur ataupun candi-candi lain di tanah Jawa. Ukuranya kecil sekitar 4,5 x 4,5 m. Dan di dalamnya ada patung dewa Syiwa. Sebenarnya saat ditemukan, bentuk asli candi ini hanya bersisa 40% saja. Sehingga bentuk sekarang yang terlihat adalah hasil pemugaran. Kira-kira dulu candinya seperti itu lah. Padahal enggak.

Wisata Garut

Keunikan terakhir dari candi ini adalah ditemukanya makam pemuka agama Islam eyang mbah Arief Muhammad, tepat di samping candi. Kontras banget kan? Arief Muhammad ini dipercaya sebagai leluhur Desa Cangkuang dan juga orang yang mendirikan Kampung Pulo.

Candi Cangkuang Garut
makam eyang Arif Muhammad bersebelahan dengan candi
Kampung Pulo dan Eyang Mbah Arief Muhammad
Masyarakat percaya bahwa Kampung Pulo didirikan oleh leluhur mereka yang bernama Arief Muhammad. Eyang Arief sekaligus dipercaya sebagai orang pertama yang menyebarkan agama Islam di daerah Cangkuang. 

Ceritanya, pada dahulu kala Eyang Arief memiliki 7 orang anak, 6 anak perempuan dan 1 anak laki-laki. Namun, anak laki-laki itu meninggal dunia. Untuk mengenang kepergian sang anak. Eyang mendirikan 7 bangunan. 6 bangunan rumah sebagai simbol untuk 6 anak perempuan dan 1 buah mesjid adat sebagai simbol untuk anak laki-lakinya yang meninggal.

Kampung Pulo pun memiliki setidaknya 5 larangan yang hingga kini masih dilaksanakan oleh masyarakat keturunan Eyang Arief.

Wisata Garut

1. Tidak boleh berziarah pada hari Rabu. Masyarakat Kampung pulo melakukan pengajian dan memperdalam ilmu agama pada hari itu dan dilarang untuk berziarah. Bahkan berziarah ke makam Eyang Arief sekalipun. Aku gak sempat nanya apa hari Rabu wisata Situ Cangkuang ini ditutup atau enggak.

2. Tidak boleh memukul atau menabuh gong dari perunggu. Saat itu anak Eyang Arief sedang dikhitan. Sesuai dengan adat kebiasaan, anak yang dikhitan akan diarak menggunakan tandu berbentuk prisma, diiringi tabuhan gamelan dimana di dalamnya termasuk ada gong besar. Ketika gamelan ditabuh saat arak-arakan berjalan, tiba-tiba datang angin topan yang menyebabkan anak lelaki Eyang Arief meninggal dunia.

3. Tidak boleh menggunakan atap jure/prisma, selamanya harus memanjang. Ini masih barkaitan dengan kematian anak Eyang Arief yang diarak menggunakan tandu prisma. 

4. Tidak boleh menambah dan mengurangi bangunan pokok dan kepala keluarga. Bangunan itu sebagai simbol anak-anak dari Eyang Arief. Satu rumah hanya bisa ditinggali oleh satu kepala keluarga. Jika kepala keluarga bertambah, maka salah satu harus tinggal di luar Kampung Pulo.

5. Tidak boleh memelihara ternak besar berkaki empat. Larangan ini diberlakukan untuk menjaga kerbersihan dan tanaman yang tumbuh di sekitar kampung.

Naskah-naskah khutbah atau pidato dan tulisan-tulisan peninggalan di zaman Eyang Arief bisa dilihat di Museum Situs. Semua peninggalan dan sejarah tentang Candi dan eyang Arief ada di Museum Situs yang letaknya tidak jauh dari dua situs bersejarah itu.

Candi Cangkuang Garut

Oleh-oleh yang bisa kita bawa dari sini lumayan banyak. 
Yuk, berwisata sejarah di Situ Cangkuang, tempat asri yang bikin nyaman untuk jalan-jalan dan piknik, sekaligus mengenal kekayaan peninggalan para leluhur. Jangan lupa untuk menjaga warisan leluhur dan keasrian tempatnya ya.

Garut menuggu mu, wilujeng sadayana . . . bye bye

wisata Garut

10 komentar

  1. Wah seru ya naik rakit. Pas tiba di candinya, teduh dan segeeeer..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tempatnya asri banget dan sejuk. . 😊

      Hapus
  2. Ternyata banyak banget ya yg bisa dieksplor dari Garut, selalin dodol hihihi.
    Makasih info tempat2 wisatanya mbak, moga2 kpn2 bisa ke sana :D

    BalasHapus
  3. Kalau ke Garut, kayanya harus masukin destinasi wisata satu ini deh. Baru 1 item khas yang aku suka dari Garut.

    MOCHI!

    Muehehehehehe. Kalau ke sana mau borong mochhiiiiiiiiiii :3

    BalasHapus
  4. Garut!! Waktu ke sana cuma tau dodol doang, sekarang kayanya punya tempat yang mau dikunjungi deh

    BalasHapus
  5. Unik ya mba, tradisi masyarakat setempatnya..sampe ada larangan memelihara ternak berkaki empat.. Padahal rata2 klo di desa kan pada beternak yaa..

    Wisata seperti ini, berguna sekali, karena kita nggak cuma nebeng selfie, tapi dapat ilmu juga..

    Makasih sharingnya mba.

    BalasHapus
  6. Udah lama nggak wisata ke candi2. Terakhir ke Candi Borobudur saat SMA, udah lama banget. Kapan-kapan pengin wisata candi bareng anak2 :)

    BalasHapus
  7. Tidka boleh memelihara ternak besar berkaki empat. Berarti gak ada sapi ya, Mbak?

    BalasHapus