Beauty Diary by Rahma

Melepas Pekerjaan Berstatus PNS untuk Menjadi Ibu Rumah Tangga

melepas pekerjaan untuk menjadi full time mom

Mendapatkan pekerjaan berstatus PNS saat ini sangat diminati. Alasan utamanya adalah masa depan terjamin. Iming-iming uang pensiunan membuat orang-orang berlomba meraih status PNS dalam pekerjaan. Penghasilan sudah pasti ada setiap bulan. Beli apa saja bias dicicil karena gampang dapat pinjaman dari bank (katanya). Hidup terasa dimudahkan.
Oleh karena itu, tak jarang ada yang sampai rela 'membayar' belasan bahkan puluhan juta untuk membeli masa depan indah berstatus PNS. Padahal, tidak ada yang bisa menjamin masa depan. Tidak ada yang berkuasa atas rezeki. Semua sudah diatur.

Di tengah perebutan gelas PNS dengan kuota minim, kakak perempuanku, yang aku panggil Teteh, mendapatkannya dengan amat mudah dari kacamata luar. Tanpa membayar berjuta-juta. Hanya bermodal ujian tes tulis. Dia bersaing dengan ribuan orang lainnya untuk memperebutkan sekitar 10 kursi kosong di Kementrian Kesehatan. Tanpa disangka, namanya muncul di pengumuman kelulusan. Bahagia? pasti. That's our parents' dream. Akhirnya ada yang seperti Ibu-Bapak.

Saat itu dia masih single. Gaji PNS golongan 3A sudah bisa dikatakan mampu mensejahterakannya. Belum lagi dia senang dengan pekerjaannya. Terlepas dari shift pagi, siang, malam dan hari libur yang tidak tentu, dia merasa nyaman karena senang dengan bidang pekerjaannya. Namun, hidup itu tidak selamanya single. Suatu saat kita mesti berbagi.

Menikah dan mempunyai anak. Dua bulan cuti melahirkan, aku iseng berceloteh, "Enak ya libur panjang. Biasanya males balik lagi ya...". Tiba-tiba dia menjawab, "emang gak akan balik lagi...". Sudah bisa diprediksi, hal klasik perempuan. Waktu kerja tidak fleksibel, sulit untuk 'mengurus' keluarga kecilnya.  Kemudian, dia memutuskan untuk berhenti bekerja.

Semudah itukah melepas PNS? Tentu tidak. Keputusan itu diambil setelah 8 bulan bernegosiasi dengan keluarga besar. Banyak orang yang menyayangkan. Banyak orang yang mempertanyakan. Banyak juga yang menentang. Orang tua kecewa, itu yang paling berat. Pada akhirnya, sudah bulat. Dia melepaskan 'rezeki'nya.

Aku mengerti. Saat masih kecil aku sering dititip dan ditinggalkan orang tua bekerja. Walaupun dititipkan kepada nenek, tetap saja rasanya berbeda. Ada satu perasaan yang membuatku berfikir, "jika aku besar nanti, aku tidak akan menitipkan anak. Aku harus mendidik dan mengurusnya sendiri." Mungkin itu juga yang terpikirakan oleh Teteh. Kakak laki-laki ku (Aa) pun tidak suka menitipkan anak sehingga dia membatasi istrinya bekerja di luar, 4-5 jam seminggu. Bedanya, Aa akan mengijinkan istri full bekerja kalau statusnya PNS. Berkebalikan. 

Kadang kesel kan ya? orang lain mati-matian ingin menjadi PNS. Ini malah dibuang. Bagaimana sih jalan pikiran seseorang yang rela melepas 'rezeki' demi anak dan keluarga? Berhubung ini bukan pengalamanku, mari kita jawab pertanyaan-pertanyaan yang sering dilontarkan orang-orang sekitar langsung dari Teteh. . .

Kenapa berhenti bekerja? sudah PNS, sayang loh. Gak betah? Gak suka pekerjaannya?
Bukan betah atau tidak betah, tapi lebih kepada menempatkan anak di urutan teratas. Ketika bekerja sebagai perawat di bagian anak, selalu teringat akan anak di rumah. Anak orang lain diurus, anak sendiri dititipkan.

Waktu terberat adalah ketika shift malam. Saat pulang pagi terasa lelah untuk berinteraksi. Padahal intensitas pertemuan sangat sedikit. Dengan kondisi lelah, sulit memanfaatkan waktu yang sempit itu. Kemudian, kekhawatiran saat malam, bayi sering menangis dan akan ia dapati ibunya tidak ada. Belum lagi ketika anak sakit. Walaupun ada yang membantu mengurus, tapi hati tetap tidak tenang.

Kamu bekerja untuk menafkahi keluarga loh. Bekerja untuk anak juga. Katanya sayang anak. Tidak sayang dengan masa depan anak?
Masa depan anak memang sudah direncanakan bersama dengan suami. Dari sisi pembiayaan, alhamdulillah sebelum mengundurkan diri, jauh hari sudah menabung untuk keperluan anak yang tidak bisa diganggu, tidak pernah diambil, kecuali di masa nanti untuk keperluan anak. 

Justru sebenarnya keputusan resign pun karena memikirkan masa depan anak. Sebagai orang tua, seorang ibu, ingin sekali melihat perkembangan si kecil dari waktu ke waktu secara utuh. Mendampinginya tumbuh dan berkembang, yang merupakan tugas utama orang tua. Mendidik dan mendampingi anak, di sana lah ladang penerapan ilmu yang telah ditempuh selama bertahun-tahun. Tidak melulu diterapkan di tempat kerja dengan orientasi ekonomi. Biarlah urusan itu, suami telah menyanggupi.


Orang tua sangat bangga dengan status PNS kamu. Tega melukai hati orang tua?
Proses resign ini didiskusikan terlebih dahulu dengan orang tua secara bertahap. Pada awalnya mereka menentang, menolak, baik itu dari orang tua sendiri ataupun dari orang tua suami, mertua. Maklum, keluarga kami keluarga PNS. Namun, diskusi, bercerita dan mengutarakan alasan secara konsisten dilakukan. Walaupun banyak penentangan, komunikasi dan diskusi harus tetap terjaga baik untuk meyakinkan orang lain terhadap jalan yang akan kita ambil.

Cara berdiskusi pun dilakukan dengan jalan baik. Tidak menunjukan emosi negatif. Dilakukan dengan cara sehalus mungkin. Keputusan ini pun dari awal sudah melukai hati orang tua, tak perlu ditambah dengan kata-kata buruk. Memberikan pemahaman dari hati ke hati adalah jalan terbaik. Hingga berbulan-bulan kemudian, hati mereka melunak. Kami semua bisa saling memahami. 

Bagaimana rasanya resign kemudian menjadi ibu rumah tangga?
Menyenangkan. Bisa memiliki banyak waktu dengan anak. Namun, hidup tidak datar. Ada naik turunnya. Ada hal yang melelahkan. Kita mulai sadar bahwa mengasuh anak pun sangat menguras emosi. Katanya, "ngasuh anak gak usah sekolah tinggi-tingi", tapi ternyata mengasuh itu memerlukan ilmu yang mumpuni. Ada masa-masa stress pada saat mengasuh dan mengurus pekerjaan rumah tangga. Tanpa ilmu, hal itu akan teramat sulit dilalui dan bisa saja berpengaruh buruk pada anak.

Terkadang, masih ada rasa perfeksionis. Di awal, ada ego dimana makanan harus selalu tersedia dan harus selalu masak, rumah harus rapih dan bersih. Walaupun demikian, yang terpenting adalah anak, hal lainnya bisa disesuaikan.

Ada pesan dari pengalaman yang telah dilalui?
Tentunya banyak komentar bernada kecewa. Kita harus sabar. Keputusan ibu bekerja atau tidak disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan keluarga, bukan karena mengikuti trend. Yang bekerja belum tentu lebih baik daripada full time mom atau Ibu rumah tangga (IRT) dan sebaliknya. Pastikan keputusan itu tidak diambil serampangan. Keduanya, bekerja atau tidak, perlu pemikiran matang.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Intinya, bekerja atau tidak adalah sebuah pilihan. Apapun yang terjadi dalam keluarga adalah tanggung jawab bersama, maka segala keputusan yang terjadi di dalamnya merupakan keputusan bersama pula. Terakhir, selalu siapkan rencana setelah keputusan dibuat. Mau dibawa kemana keluarga ini?

wow aku beropini seperti orang yang sudah ahli di bidang kekeluargaan. Padahal nikah aja belum wkwkwk :D Calonnya aja belum ada :( *curhat . . .

Apakah teman-teman mengalami dilemma bekerja dan merawat anak? Bagaimana menurutmu terkait keputusan melepas pekerjaan untuk menjadi full time mom? Yuk, ceritakan opini dan pengalamanmu di kolom komentar :) 


7 komentar

  1. memang dilema banget mba dihadapkan dengen kerjaan n anak, rasanya pengen jadi Nia ramadhani aja klo lg dilema menerpa hehehe

    BalasHapus
  2. qiqiqiqi... di atas saya sudah kebawa suasana, eh pas dibawa ternyata si mba belum nikah? hihihi..

    Tapi memang iya, jadi PNS itu masa tua pasti terjamin, minimal gak bikin anak-anak jadi sandwich generation.

    Tapi ya gitu, konsekwensinya kalau jadi perempuan setinggi dan senyaman apapun pekerjaan kita, jatuh tersungkur juga karena masalah anak.

    Sayapun dulu merasakan betapa gak enaknya jika ibu bekerja, ada masa-masa saya kelaparan menanti mama pulang kantornya telat hiks.

    BalasHapus
  3. semau itu piliha ya dan aku selalu menghargai pilihan orang mau bekeja atau gak setelah menikah, gak perlu diperdebatkan masing2 punya pemikiran sendiri

    BalasHapus
  4. Hebat ya cara pandangnya,luas 😊
    Tp kebanyakan org indonesia naksir sama PNS ini krn dianggap mapan ya, pdhal semua kerjaan ada enak gak enaknya. Aku sendiri sih lebih suka pekerjaan dagang kaya siti khadizah istri rasullullah. bisa bawa anak jg ke toko kan haha 😂 (klo bisa mah, sygnya blm coba haa).

    BalasHapus
  5. Apalagi karir kalau lagi bagus2nya, mau PNS maupun bukan, melepas pekerjaan tetap hal yang sulit, saya ngalamin nya pas memutuskan menikah dan akan tinggal di negara suami, atasan sampe nyidang saya karena resign:D malah berusaha menggoyahkan keputusan saya buat resign, krn karir sedang bagus2nya. Bismillah aja dgn keputusan besar itu, buat saya nikah jg jln ibadah,rezeki Allah yang jamin.selepas menikah Allah buka jalan rezeki untuk kami, suami yg awalnya kerja biasa, selepas menikah nyoba tes pns eh keterima hehe. btw salam kenal ya

    BalasHapus
  6. Ini yang sedang saya hadapi. Merantau jauh dr keluarga dengan perut membesar. Suasana kantor juga sangat tidak kondusif dan tidak membuat nyaman. Bismillah...ada contoh si teteh. Bisa buat pertimbangan keluarga yg masih kontra

    BalasHapus
  7. Saya pns ditempatkan di sulsel, keluarga besar dan suami ada di jatim.
    Setelah melahirkan dan cuti habis serasa tdk ingin kembali ke perantauan.... Dengan berat hati saya meninggalkan anak saya yg baru berumur 2,5 bulan... Mau mutasi ke jatim juga susah, mau dibawa ke tempat kerja juga masih bayi, mau cari pengasuh di sulsel juga gak tega..akhirnya sekarang saya dirundung pilu, memikirkan anak yg masih bayi yg harusnya minum asi, sekarang sufor full sedangkan asi ku ak buang dengan percuma.

    BalasHapus