Beberapa waktu yang lalu, pemberitaan di media elektronik didominasi oleh viralnya kasus pelecehan seksual oleh oknum dokter kandungan di wilayah Garut. Tidak lama dari situ, masih di wilayah Garut, muncul pemberitaan mengenai kasus serupa yang kali ini dilakukan oleh oknum guru.
Ada dua berita yang saya dapatkan, tapi yang masih berseliweran di media daring hanya terkait pelecehan oknum guru pada muridnya di tempat renang. Nah, satu kasus lagi sepi dari pemberitaan. Pelakunya seorang guru agama dan korbannya tidak lain adalah rekan kerjanya juga yang sesama guru.
Saya tahu kasus kedua ini karena ada kerabat yang bekerja dekat dengan lingkungan sekolah itu bercerita mengenai Pak “Uca”, Ustadz Cabul—begitulah sekarang mereka melabeli si pelaku.
Ada dua korban Pak Uca yang teridentifikasi (mungkin ada korban lain lagi). Kedua korban tersebut sudah pindah mengajar karena beberapa alasan. Menurut salah seorang korban, kasus ini sudah lama terjadi, tapi ada yang membukanya ke media lokal.
Satu korban yang sudah berusaha melupakan kejadian menjijikan itu merasa kesal karena harus mengingatnya kembali. Terlebih, tempat kerja sekarang masih berada di kecamatan yang sama dengan tempat mengajar Pak Uca.
Tidak bertahan lama, berita Pak Uca pun tiba-tiba hilang. Pemberitaan di media sosial lokal diturunkan. Belum jelas apa motif dari kemunculan dan penutupan kasus ini. Namun, para guru sekitar sudah mengetahui bahwa Pak Uca adalah seorang guru genit bertangan liar, senang menggerayami yang bukan muhrim.
Pak Uca masih bekerja sebagai pengajar di sekolah itu. Malah statusnya sekarang sudah P3K. Miris, ya? Semoga sudah bertaubat.
Kenapa Banyak Korban Pelecehan Seksual Tidak Melapor?
Dari kasus Pak Uca, kita bisa melihat bahwa keberanian korban dalam mengungkapkan (speak up) dan melaporkan kejadian sangat dibutuhkan sebagai langkah awal “penindakan”. Tanpa laporan, pihak berwenang atau instansi sulit untuk bergerak meskipun banyak orang sekitar yang mengetahui gelagat tercela pelaku.
Lantas, mengapa banyak korban pelecehan seksual tidak melapor? Banyak sekali kemungkinan yang muncul. Saya tuliskan beberapa alasan atau faktor keengganan korban dalam melaporkan pelaku pelecehan seksual dari beberapa jurnal penelitian (Doshi et al., 2019; Jones et al., 2009; Ochieng, 2022; Goodman-Williams, et al., 2023; Hu, et al., 2019; Zhou et al., 2024)
Tantangan Prosedur Peradilan
Adanya ketidakmampuan mengikuti prosedur peradilan karena urusan lain yang mendesak, seperti pekerjaan dan keluarga. Proses peradilan sangat panjang sehingga korban akan sering absen dari pekerjaan dan kegiatan keluarga. Dengan demikian korban kemungkinan akan menghadapi konsekuensi lain seperti ancaman pemecatan, gesekan antar rekan kerja, atau keluhan dari anggota keluarga seperti pasangan dan anak.Proses peradilan yang pelik juga sering membuat banyak korban tidak percaya dengan sistem peradilan sehingga enggan melapor. Salah satu hal penting dalam proses peradilan adalah adanya bukti kuat supaya kasus bisa berlanjut, tapi kadang ingatan tidak sempurna karena kejadian sudah lama sekali.
Untuk melengkapi bukti, polisi atau petugas berwenang akan terus menggali informasi dengan mempertanyakan pernyataan korban. Dengan demikian, korban merasa tersudutkan dan tertekan.
Mengingat membuat laporan juga tidak semudah yang dibayangkan, korban tentu akan membutuhkan waktu untuk mencerna kejadian yang terjadi dan mempertimbangkan kembali apakah akan lanjut melaporkan atau tidak.
Waktu yang terlalu lama bisa menyebabkan keterlambatan dalam melakukan evaluasi forensik. Dengan demikian, bukti mungkin bisa saja sulit untuk dikumpulkan sehingga korban malah merasa pesimis untuk melanjutkan laporan.
Terkadang muncul pula asumsi bahwa pelaporan tidak akan menghasilkan perubahan atau sia-sia. Pelaku tetap berkeliaran dan korban semakin malu. Tidak aneh jika saat ini masyarakat lebih dekat dengan ungkapan “no viral, no justice” dibandingkan harus membuat laporan ke institusi resmi.
Alasan Psikologis
Banyak sekali ketidaknyamanan psikologis yang bisa menghampiri korban pelecehan seksual, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:- Takut tidak dipercaya oleh orang lain, “ah masa sih si A berkelakuan begitu. Padahal dia sayang banget sama pasangan dan anaknya. Ah ini mah korbannya aji mumpung. Dulu diem-diem aja digituin. Kok baru ngomong sekarang.”
- Ketakutan ancaman fisik atau intimidasi terhadap korban dan orang terdekatnya. Biasanya terjadi jika pelaku memiliki jabatan tinggi atau memiliki koneksi dengan orang berpengaruh.
- Trauma psikologis dalam menuturkan kejadian yang dialami, mengingat kejadian dan melihat wajah pelaku pasti sangat menguras emosi sehingga proses pelaporan bisa mengganggu proses penyembuhan korban.
Tantangan Sosial
Tantangan sosial masih menjadi PR berat di masyarakat Indonesia. Kurangnya pemahaman, masyarakat sering menganggap tindakan pelecehan seksual sebagai hal yang biasa atau meremehkan tindakan tersebut.“Ah namanya juga anak laki-laki. Iseng.”Suka atau tidak, guru menjadi garda terdepan dalam memberantas pelecehan seksual. Mereka yang akan mengajarkan dan mendidik generasi muda untuk menjauhi perbuatan tercela tersebut. Oleh karena itu, miris sekali jika para pendidik masih menormalkan tindakan pelecehan.
Just take a look at kasus Pak Uca yang masih adem ayem mengajar tanpa sanksi disipliner dari atasan atau instansinya. Bukannya diberantas malah dipeuyeum.
Tantangan sosial lainnya, yaitu ketika pelaku memiliki kekuasaan yang lebih besar dibandingkan korban. Pelaku memberdayakan koneksi yang dimiliki untuk menguntungkan dirinya dalam kasus asusila atau jika tidak untuk mengintimidasi korban. Dengan demikian, semakin sempit kemungkinan korban untuk melaporkan tindakan pelaku.
Tidak Mau Pelaku Dipenjara
Believe it or not, beberapa atau mungkin banyak korban tidak ingin pelaku dipenjara atau dihukum. Alasan yang biasanya muncul adalah korban dan pelaku masih berhubungan dekat—misalnya berkerabat atau bertetangga—atau pelaku menyesal dan meminta maaf.Rusaknya hubungan kekeluargaan dan lingkungan tidak sebanding dengan hasil peradilan yang mungkin didapatkan. Mungkin ini yang dimaksud dengan penyelesaian jalur kekeluargaan?
Fokus Pemulihan Fisik dan Psikis
Korban merasa lelah secara fisik dan psikis setelah kejadian sehingga enggan untuk membuat laporan yang mana akan semakin menguras sumber daya.Pada suatu kasus, korban yang lelah terkadang menunggu bantuan dari orang-orang terdekat untuk bertindak. Bantuan dari sekitar ini juga bisa menjadi pedang bermata dua.
Jika orang terdekat sigap dan aktif membantu, evaluasi forensik bisa dilakukan dengan segera dan mungkin laporan bisa dibuat dengan cepat. Akan tetapi, bantuan dan perhatian orang-orang sekitar juga bisa mengurungkan korban untuk melapor karena merasa sudah mendapatkan kedamaian dan ketenangan.
Terlibat Kegiatan Ilegal
Sama-sama memiliki “aib” menjadi salah satu alasan berat bagi korban untuk melapor. Berada di lingkungan yang tidak sehat dan memiliki riwayat berkaitan dengan tindakan melawan hukum membuat korban merasa tidak mungkin melaporkan kejadian pelecehan pada dirinya.Takut laporannya nanti menjadi senjata makan tuan. Ini sama seperti melaporkan dirinya sendiri.
Pelecehan Seksual itu Apa sih? Apakah Sama dengan Perilaku Genit atau Pemerkosaan?
Sebagai pengingat saja, biasanya korban juga ragu apakah kejadian yang dialaminya termasuk pelecehan atau bukan, saking seringnya perilaku tersebut muncul di keseharian tanpa ada tindakan tegas dari orang-orang sekitar.
Pelecehan seksual akhirnya memiliki definisi yang tidak jelas dan menyebabkan korban ragu untuk melapor (Delva et al., 2023). Namun, ada indikasi dasar yang jelas dalam pelecehan seksual yaitu korban menolak atau merasa tersinggung saat menerima perlakuan tersebut.
Terkadang, pelecehan seksual tertutupi oleh kata genit. Padahal dua hal itu memiliki arti berbeda. Genit, berdasarkan kbbi, adalah bergaya-gaya (tingkah lakunya), banyak tingkahnya. Gelagat genit biasa disertai dengan merayu atau menggoda untuk menarik perhatian lawan jenis.
Di lain pihak, pelecehan seksual merupakan tindakan atau ucapan bertema seksual yang tidak diinginkan si penerima atau ketika penerimaan permintaan seksual dijadikan syarat untuk keputusan terkait pekerjaan (quid pro quo) sehingga mengganggu martabat serta menciptakan suasana kerja yang intimidatif, bermusuhan dan merendahkan (Lian, 2024; Ramsaroop, 2020).
Terlihat ada perbedaan tujuan dari sifat genit dan tindakan pelecehan. Bersifat genit ditujukan untuk menarik perhatian sedangkan tindakan pelecehan bertujuan mendominasi kekuasaan terhadap orang lain karena adanya pemaksaan kehendak pelaku terhadap korbannya.
Bagaimana dengan tindakan pemerkosaan? itu termasuk pelecehan seksual dalam bentuk lain, yaitu kekerasan seksual. Masih di satu kategori yang sama, tapi lebih ekstrem. Ibaratnya mencopet dan membegal sama-sama di kategori pencurian, tapi begal lebih ekstrem dimana terdapat ancaman kekerasan secara terang-terangan.
Berikut beberapa bentuk pelecehan seksual yang biasa terjadi di tempat kerja:
- Verbal: Komentar atau lelucon pelecehan (termasuk catcalling) yang tidak diinginkan termasuk mengomentari penampilan fisik atau kepribadian seseorang dengan kata-kata tidak senonoh.
- Non-verbal: Isyarat atau gerakan seksual yang tidak diinginkan.
- Fisik: Sentuhan atau kontak fisik yang tidak diinginkan
- Digital: Pengiriman pesan atau konten seksual melalui media elektronik
Jadi intinya, ada dua ciri utama pelecehan seksual, yaitu bertema seksual dan si penerima tidak menginginkannya (ada pemaksaan kehendak dari satu pihak). Saya kira dua hal itu sudah sangat jelas sehingga tidak boleh menormalkan atau menganggap biasa tindakan rendah tersebut.
Tidak boleh ada lagi perkataan meremehkan yang bisa menormalkan perilaku pelecehan, seperti “ah namanya juga laki-laki, suka genit” atau “masa cowok jadi korban, paling juga dia menikmati”. Orang-orang sekitar diharapkan mendukung korban dan memberikan sanksi pada pelaku dengan cepat.
Misalnya, atasan memberikan peringatan pada pelaku dan membawa isunya di forum resmi, seperti rapat, sebagai perhatian untuk semua pihak. Langkah kecil ini jika dilakukan dengan konsisten pasti bisa membuat pelaku tertekan.
Selanjutnya, tentu alur pengaduan resmi perlu dibuat lebih mudah dengan prosedur penanganan yang cepat. Ini ditujukan supaya pelaku dengan kekuasaan tinggi tidak memiliki ruang untuk beraksi atau menyalahgunakan wewenang di tempat kerja.
Penutup
Sangat miris sekali mendengar kasus pelecehan di dunia pendidikan seperti kasus Pak Uca. Sebagai seorang guru, mereka seharusnya lebih tahu dan paham dengan tindakan pelecehan.
Saya, sebagai mantan pengajar dan seorang ibu, tentu merasa sangat kesal dan takut. Perasaan takut menyerahkan anak ke sekolah atau lembaga pendidikan formal semakin tinggi.
Bagaimana mereka bisa mendidik dan melindungi anak saya kelak, jika mereka saja tidak mampu mendisiplinkan, mendidik dan melindungi para pegawainya?
Mungkin hari ini korbannya sesama guru, orang dewasa, bisa jadi lain hari korbannya adalah anak-anak yang memiliki power jauh lebih lemah dibandingkan korban sekarang.
Semoga proses peradilan atau prosedur pelaporan pelanggaran kode etik pegawai bisa dibuat lebih mudah dan cepat ditangani. Jangan sampai menunggu viral, baru bergerak cepat mengamankan pelaku.
Mengingat banyaknya tantangan bagi korban, tentu orang-orang di sekitar korban dan pelaku pun harus lebih pro-aktif dan memiliki perspektif yang sama dalam menyikapi tindakan asusila ini sehingga pelaku tidak dilindungi.
Apakah mungkin para pendidik di kita ini masih awam dan tabu dengan kasus pelecehan seksual?
Jika iya, instansi terkait harus segera mensosialisasikan isu pelecehan seksual secara intensif dan praktis kepada para pendidik di sekolah, mulai dari pengenalan bentuk pelecehan seksual, prosedur pelaporan, penanganan dan ancaman sanksi, termasuk jaminan perlindungan di tempat kerja.
Semoga pendidikan Indonesia terus berkembang, menjadi lebih baik, dan bisa mencegah serta menangani isu pelecehan seksual dengan sigap.
Sumber:
Delva, S., Lascombes, A., Akinola, R., Koster, F., Schippers, J., & Wendt, S. (2023). Obstacles in identifying sexual harassment in academia: Insights from five European countries. Sexuality Research and Social Policy. https://doi.org/10.1007/s13178-023-00870-8
Detikcom. (2024, 23 April). Bejat! Pak Guru Cabuli Bocah Lelaki di Kolam Renang Garut. DetikNews. https://www.detik.com/jabar/hukum-dan-kriminal/d-7866710/bejat-pak-guru-cabuli-bocah-lelaki-di-kolam-renang-garut
Doshi, D., Richards, O., & White, K. (2019). What prevents victims from reporting sexual harassment? An analysis of barriers in online platforms. In Proceedings of the 2019 on Designing Interactive Systems Conference (pp. 527–538). Association for Computing Machinery. https://doi.org/10.1145/3341161.3343700
Goodman-Williams, R., Volz, J., & Fishwick, K. (2023). Reasons for Not Reporting Among Sexual Assault Survivors Who Seek Medical Forensic Exams: A Qualitative Analysis. Journal of Interpersonal Violence, 39, 1905 - 1925.
Hu, Y.-Y., Ellis, R. J., Hewitt, D. B., Yang, A. D., Cheung, E. O., Moskowitz, J. T., & Hoyt, D. B. (2019). Understanding the barriers to reporting sexual harassment in surgical training. Annals of Surgery, 269(6), 1182–1188. https://doi.org/10.1097/SLA.0000000000003272
Jones, J., Alexander, C., Wynn, B.N., Rossman, L., & Dunnuck, C. (2009). Why women don't report sexual assault to the police: the influence of psychosocial variables and traumatic injury. The Journal of emergency medicine, 36 4, 417-24.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (n.d.). Genit. Diakses 29 April 2025, dari https://www.kbbi.web.id/genit
Liang, T. (2024). Sexual harassment at work: Scoping review of reviews. Psychology Research and Behavior Management, 17, 1635–1660. https://doi.org/10.2147/PRBM.S455753
Ochieng, P. A. (2022). Examining the barriers to reporting sexual harassment in universities. International Journal of Sociology, 11(2), 57–74. https://doi.org/10.47604/ijs.1211
Ramsaroop, P. (2020). The prevalence and nature of sexual harassment in the workplace: A model for early identification and effective management thereof. SA Journal of Industrial Psychology, 46, a374. https://doi.org/10.4102/sajip.v46i0.374
Tempo.co. (2024, 21 April). Ramai reaksi atas dugaan pelecehan seksual dokter kandungan di Garut. Tempo.co. https://www.tempo.co/politik/ramai-reaksi-atas-dugaan-pelecehan-seksual-dokter-kandungan-di-garut–1232119
Zhou, X., Tan, A. Y. K., & Ng, H. W. (2024). Understanding barriers to reporting workplace sexual harassment: A large-scale survey analysis. bioRxiv. https://doi.org/10.1101/2024.07.09.24310170
0 comments